Membuka Dunia, Menjembatani Bangsa - "世界をひらき、国をつなぐ

Berita

Displaying items by tag: kursus

TOKYO -- Jepang akan melonggarkan larangan hampir pada kedatangan asing bulan ini, secara bertahap mengizinkan lebih banyak pelancong bisnis dan pelajar, Nikkei telah belajar, karena frustrasi meningkat dengan pembatasan ketat yang membuat orang keluar dari negara itu selama dua tahun.

Kontrol perbatasan yang lebih ketat yang diterapkan pada akhir November sebagai tanggapan terhadap varian virus corona omicron sekarang akan berakhir pada 1 Maret setelah beberapa kali perpanjangan. Sebelum itu, pemerintah berencana untuk mulai menerima lebih dari 1.000 orang per hari, dan secara bertahap menaikkan batasnya menjadi beberapa ribu.

Sekolah dan perusahaan diharapkan untuk mengawasi pelancong yang datang di bawah sponsor mereka, dan pengunjung akan diminta untuk mengasingkan diri setelah memasuki negara itu.

Pembatasan yang lebih longgar pada pelancong bisnis akan berlaku untuk perjalanan bisnis jangka pendek dan relokasi jangka panjang. Pemerintah akan memprioritaskan peneliti dan insinyur, serta pekerja yang memberikan "kepentingan umum".

Jepang sebelumnya mulai mengizinkan segelintir mahasiswa asing yang disponsori pemerintah masuk ke negara itu. Pembukaan kembali yang lebih luas ini akan memberikan prioritas kepada siswa yang tidak dapat lulus tanpa kelas tatap muka di Jepang.

Pemotongan periode karantina menjadi tiga hari atau kurang dari tujuh hari sedang dipertimbangkan. Untuk memenuhi syarat, pelancong, baik warga negara Jepang maupun asing, harus telah menerima booster vaksin dan telah diuji untuk COVID-19. Pemerintah berencana untuk menyederhanakan dokumen yang diperlukan dan proses penyaringan.

Keputusan akan dibuat paling cepat minggu depan berdasarkan tren kasus virus corona.

Di bawah aturan saat ini, warga negara asing yang tidak memiliki tempat tinggal permanen, sebagai aturan, dapat memasuki Jepang hanya untuk alasan kemanusiaan atau "kepentingan publik". Wisatawan asing yang datang ke negara itu turun menjadi rata-rata 767 per hari pada bulan Desember, menurut Badan Layanan Imigrasi.

Batas masuk pada kedatangan, yang saat ini ditetapkan sekitar 3.500 orang, akan naik ketika pembatasan dicabut 1 Maret. Batasnya adalah 5.000 sebelum kontrol diberlakukan pada November. Batasan yang terlalu rendah dapat memicu kritik lebih lanjut.

 

Sumber : asia.nikkei.com

 

世界をひらき、国をつなぐ

#インドネシアの実習生送り出し機関 #育成就労ビザ #送り出し機関

Published in Berita

MACCA NIHONGO. Beberapa bulan lalu, Jepang diguncang skandal. Bukan skandal korupsi atau sejenisnya tetapi seorang menteri yang terlambat datang ke parlemen.

Menteri Olimpiade Yoshitaka Sakurada terlambat tiga menit menghadiri sebuah rapat dengan parlemen.

Hal itu memicu aksi protes selama lima jam dari oposisi dan memicu kemarahan publik.
Beberapa hari setelah itu, Sakurada harus meminta maaf secara publik atas skandal itu.

Bukan hanya untuk tokoh ternama. Para pelaku bisnis, institusi, dan berbagai pekerjaan lainnya ketepatan waktu adalah yang terpenting di Jepang.

Pada 2018, sebuah kereta api yang dikelola perusahaan JR-West Railway tiba 25 detik lebih cepat di stasiun.

Meski datang lebih cepat, kondisi ini malah memicu kritkan publik yang memaksa perusahaan itu meminta maaf secara terbuka.

Insiden itu menjadi bahan pembicaraan luas di Jepang dan dianggap sebagai kesalahan besar yang dilakukan JR-West Railway.

"Ketidaknyamanan yang dirasakan para pelanggan kami sungguh tidak bisa dimaafkan," demikian pernyataan perusahaan tersebut.

Sejak usia dini, warga Jepang sudah diajari untuk menghargai ketepatan waktu.

"Orangtua saya selalu mengatakan pentingnya untuk tidak terlambat, memikirkan ketidaknyamanan orang lain jika saya terlambat, dan pemikiran itu sudah tertanam di benak saya," kata Issei Izawa (19), seorang mahasiswa.

Kanako Hosomura (35), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Saitama, mengatakan bahwa dia amat benci keterlambatan meski hanya semenit.

"Saya memilih datang lebih cepat jika telah memiliki janji. Sebab lebih baik saya yang menunggu daripada membuat orang lain yang menunggu saya," kata Kanako.

Perempuan itu menegaskan, dia tidak akan berteman dengan seseorang yang tidak bisa menepati waktu dan membuat orang lain tidak nyaman. 


Menteri Olimpiade Jepan, Yoshitaka Sakurada terpaksa meminta maaf secara publik setelah terlambat tiga menit datang ke sebuah rapat dengan parlemen.

Namun, bagi sebagian orang budaya yang menekankan pada ketepatan waktu ini bisa amat menekan.

"Pacar saya bekerja di pusat informasi JR Railways. Pekan lalu, dia kembali bekerja dari istirahat dan atasannya mengatakan dia 10 detik terlambat," ujar seorang pria yang tidak mau disebutkan namanya.

Pria itu menambahkan, kekasihnya itu bahkan mendapatkan peringatan atas keterlambatan 10 detik itu.

"Ini terlalu ekstrem," kata dia.

Obsesi Jepang atas ketepatan waktu kerap dianggap mereka yang berkunjung ke Jepang sebagai kebiasaan terbaik negeri itu.

Kenyataannya, keterlambatan datang ke tempat kerja memberikan dampak terhadap perekonomian.

Di Inggris, para pekerja yang datang terlambat merugikan perekonomian hingga 9 miliar poundsterling atau Rp 170,6 triliun setahun. Demikian menurut laporan Heathrow Express 2017.

Lebih dari separuh pekerja yang disurvey laporan ini mengatakan, mereka kerap terlambat bekerja dan menghadiri pertemuan.

Di Amerika Serikat, keterlambatan juga memberikan dampak negatif. Di negara bagian New York, para pekerja yang terlambat mengakibatkan kerugian 700 juta dollar AS atau hampir Rp 10 triliun setahun.

Sementara di California, keterlambatan datang bekerja menimbulkan kerugian hingga 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14 triliun setahun.

Namun, Jepang tak selamanya menjadi tempat yang paling menghargai ketepatan waktu. Hingga akhir 1800-an, Jepang di masa pra-industrial masih bersikap amat santai.

Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira AL Belanda yang datang ke Jepang pada 1850-an, menulis di catatan hariannya bahwa warga Jepang tidak pernah datang tepat waktu.

Saat itu, masih kata Willem, kereta api di Jepang bahkan kerap terlambat 20 menit dari jadwal seharusnya.

Di masa Restorasi Meiji (1868-1912), di saat Kaisar Meiji menghapus sistem feodal, menerapkan reformasi militer dan industrialisasi, ketepatan waktu menjadi norma bar.

Budaya baru ini dianggap menjadi kunci utama kemajuan pesat Jepang dari negeri agraris menjadi sebuah masyarakat industri modern.

Sekolah, perusahaan, dan jaringan kereta api, di mana ketepatan waktu diberlakukan ketat, menjadi institusi yang menjadi ujung tombak perubahan budaya ini.

Di masa inilah, jam tangan menjadi benda populer dan konsep 24 jam sehari menjadi hal yang familiar bagi warga biasa.

Di atas semua itu, menurut peneliti Ichiro Oda, saat itulah warga Jepang menyadari konsep "waktu adalah uang".

Pada 1920-an, ketepatan waktu dilembagakan dalam berbagai propaganda negara.

Berbagai poster soal ketepatan dan penghematan waktu disebar. Misalnya bagaimana cara perempuan menata rambut dalam lima menit jika tak ada acara khusus.

Sejak saat itulah, ketepatan waktu dikaitkan dengan produktivitas di perusahaan dan organisasi. Demikian penjelasan Makoto Watanabe, guru besar ilmu komunikasi dan media di Universitas Bunkyo Hokkaido.

"Jika pekerja datang terlambat, perusahaan dan pekerja lain akan menderita," kata dia.

"Secara pribadi, jika saya terlambat, maka saya tak bisa menyelesaikan tugas yang seharusnya saya kerjakan," tambah dia.

Sedangkan Mieko Nakabayashi, guru besar ilmu sosial di Universitas Waseda mengatakan, amat penting para pekerja datang tempat waktu.

"Jika Anda tak bisa melakukan itu, maka Anda dengan cepat mendapat reputasi buruk di dalam perusahaan," kata Mieko.

Meski demikian, lanjut Mieko, ketepatan waktu tidak berbanding lurus dengan efisiensi.

Pada 1990, tragedi terjadi di prefektur Hyogo saat pelajar berusia 15 tahun tewas tergencet gerbang sekolah.

Dia tewas saat berusaha menyelinap saat gerbang sekolah mulai ditutup pada pukul 08.30 waktu setempat.

Guru yang menekan tombol penutup gerbang dipecat dan insiden itu memicu debat publik.

"Saat itu, amat lazim menutup gerbang tepat waktu dan menghukum siswa yang terlambat berlari mengelilingi lapangan," ujar Yukio Kodata (33), warga Kanada keturunan Jepang yang kini tinggal di negeri leluhurnya itu.

Yukio menambahkan, catatan keterlambatan siswa datang ke sekolah bisa memengaruhi peluang mereka masuk ke universitas.

Ujungnya, penekanan pada ketepatan waktu dan kaburnya batas untuk waktu lembur memengaruhi kualitas hidup.

"Di Jepang, warga memiliki mentalitas bahwa jika orang lain melakukan itu, maka mereka harus melakukan hal yang sama," kata Yukio.

"Banyak teman saya yang datang dari Jepang ke Kanada, tak ingin pulang. Mereka suka makanan dan hiburan di Jepang, tetapi mereka tak ingin bekerja di sana," tambah dia.

 

Sumber: jepang.net

Published in Berita
© 2025 Macca Nihongo. All Rights Reserved. Website by JA