Membuka Dunia, Menjembatani Bangsa - "世界をひらき、国をつなぐ

Berita

Displaying items by tag: maccanihongo

MACCA NIHONGO. Beberapa bulan lalu, Jepang diguncang skandal. Bukan skandal korupsi atau sejenisnya tetapi seorang menteri yang terlambat datang ke parlemen.

Menteri Olimpiade Yoshitaka Sakurada terlambat tiga menit menghadiri sebuah rapat dengan parlemen.

Hal itu memicu aksi protes selama lima jam dari oposisi dan memicu kemarahan publik.
Beberapa hari setelah itu, Sakurada harus meminta maaf secara publik atas skandal itu.

Bukan hanya untuk tokoh ternama. Para pelaku bisnis, institusi, dan berbagai pekerjaan lainnya ketepatan waktu adalah yang terpenting di Jepang.

Pada 2018, sebuah kereta api yang dikelola perusahaan JR-West Railway tiba 25 detik lebih cepat di stasiun.

Meski datang lebih cepat, kondisi ini malah memicu kritkan publik yang memaksa perusahaan itu meminta maaf secara terbuka.

Insiden itu menjadi bahan pembicaraan luas di Jepang dan dianggap sebagai kesalahan besar yang dilakukan JR-West Railway.

"Ketidaknyamanan yang dirasakan para pelanggan kami sungguh tidak bisa dimaafkan," demikian pernyataan perusahaan tersebut.

Sejak usia dini, warga Jepang sudah diajari untuk menghargai ketepatan waktu.

"Orangtua saya selalu mengatakan pentingnya untuk tidak terlambat, memikirkan ketidaknyamanan orang lain jika saya terlambat, dan pemikiran itu sudah tertanam di benak saya," kata Issei Izawa (19), seorang mahasiswa.

Kanako Hosomura (35), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Saitama, mengatakan bahwa dia amat benci keterlambatan meski hanya semenit.

"Saya memilih datang lebih cepat jika telah memiliki janji. Sebab lebih baik saya yang menunggu daripada membuat orang lain yang menunggu saya," kata Kanako.

Perempuan itu menegaskan, dia tidak akan berteman dengan seseorang yang tidak bisa menepati waktu dan membuat orang lain tidak nyaman. 


Menteri Olimpiade Jepan, Yoshitaka Sakurada terpaksa meminta maaf secara publik setelah terlambat tiga menit datang ke sebuah rapat dengan parlemen.

Namun, bagi sebagian orang budaya yang menekankan pada ketepatan waktu ini bisa amat menekan.

"Pacar saya bekerja di pusat informasi JR Railways. Pekan lalu, dia kembali bekerja dari istirahat dan atasannya mengatakan dia 10 detik terlambat," ujar seorang pria yang tidak mau disebutkan namanya.

Pria itu menambahkan, kekasihnya itu bahkan mendapatkan peringatan atas keterlambatan 10 detik itu.

"Ini terlalu ekstrem," kata dia.

Obsesi Jepang atas ketepatan waktu kerap dianggap mereka yang berkunjung ke Jepang sebagai kebiasaan terbaik negeri itu.

Kenyataannya, keterlambatan datang ke tempat kerja memberikan dampak terhadap perekonomian.

Di Inggris, para pekerja yang datang terlambat merugikan perekonomian hingga 9 miliar poundsterling atau Rp 170,6 triliun setahun. Demikian menurut laporan Heathrow Express 2017.

Lebih dari separuh pekerja yang disurvey laporan ini mengatakan, mereka kerap terlambat bekerja dan menghadiri pertemuan.

Di Amerika Serikat, keterlambatan juga memberikan dampak negatif. Di negara bagian New York, para pekerja yang terlambat mengakibatkan kerugian 700 juta dollar AS atau hampir Rp 10 triliun setahun.

Sementara di California, keterlambatan datang bekerja menimbulkan kerugian hingga 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14 triliun setahun.

Namun, Jepang tak selamanya menjadi tempat yang paling menghargai ketepatan waktu. Hingga akhir 1800-an, Jepang di masa pra-industrial masih bersikap amat santai.

Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira AL Belanda yang datang ke Jepang pada 1850-an, menulis di catatan hariannya bahwa warga Jepang tidak pernah datang tepat waktu.

Saat itu, masih kata Willem, kereta api di Jepang bahkan kerap terlambat 20 menit dari jadwal seharusnya.

Di masa Restorasi Meiji (1868-1912), di saat Kaisar Meiji menghapus sistem feodal, menerapkan reformasi militer dan industrialisasi, ketepatan waktu menjadi norma bar.

Budaya baru ini dianggap menjadi kunci utama kemajuan pesat Jepang dari negeri agraris menjadi sebuah masyarakat industri modern.

Sekolah, perusahaan, dan jaringan kereta api, di mana ketepatan waktu diberlakukan ketat, menjadi institusi yang menjadi ujung tombak perubahan budaya ini.

Di masa inilah, jam tangan menjadi benda populer dan konsep 24 jam sehari menjadi hal yang familiar bagi warga biasa.

Di atas semua itu, menurut peneliti Ichiro Oda, saat itulah warga Jepang menyadari konsep "waktu adalah uang".

Pada 1920-an, ketepatan waktu dilembagakan dalam berbagai propaganda negara.

Berbagai poster soal ketepatan dan penghematan waktu disebar. Misalnya bagaimana cara perempuan menata rambut dalam lima menit jika tak ada acara khusus.

Sejak saat itulah, ketepatan waktu dikaitkan dengan produktivitas di perusahaan dan organisasi. Demikian penjelasan Makoto Watanabe, guru besar ilmu komunikasi dan media di Universitas Bunkyo Hokkaido.

"Jika pekerja datang terlambat, perusahaan dan pekerja lain akan menderita," kata dia.

"Secara pribadi, jika saya terlambat, maka saya tak bisa menyelesaikan tugas yang seharusnya saya kerjakan," tambah dia.

Sedangkan Mieko Nakabayashi, guru besar ilmu sosial di Universitas Waseda mengatakan, amat penting para pekerja datang tempat waktu.

"Jika Anda tak bisa melakukan itu, maka Anda dengan cepat mendapat reputasi buruk di dalam perusahaan," kata Mieko.

Meski demikian, lanjut Mieko, ketepatan waktu tidak berbanding lurus dengan efisiensi.

Pada 1990, tragedi terjadi di prefektur Hyogo saat pelajar berusia 15 tahun tewas tergencet gerbang sekolah.

Dia tewas saat berusaha menyelinap saat gerbang sekolah mulai ditutup pada pukul 08.30 waktu setempat.

Guru yang menekan tombol penutup gerbang dipecat dan insiden itu memicu debat publik.

"Saat itu, amat lazim menutup gerbang tepat waktu dan menghukum siswa yang terlambat berlari mengelilingi lapangan," ujar Yukio Kodata (33), warga Kanada keturunan Jepang yang kini tinggal di negeri leluhurnya itu.

Yukio menambahkan, catatan keterlambatan siswa datang ke sekolah bisa memengaruhi peluang mereka masuk ke universitas.

Ujungnya, penekanan pada ketepatan waktu dan kaburnya batas untuk waktu lembur memengaruhi kualitas hidup.

"Di Jepang, warga memiliki mentalitas bahwa jika orang lain melakukan itu, maka mereka harus melakukan hal yang sama," kata Yukio.

"Banyak teman saya yang datang dari Jepang ke Kanada, tak ingin pulang. Mereka suka makanan dan hiburan di Jepang, tetapi mereka tak ingin bekerja di sana," tambah dia.

 

Sumber: jepang.net

Published in Berita

MACCA NIHONGO. Mulai 1 Mei 2019, telah terjadi perubahan era kekaisaran di Jepang. Perubahan tersebut adalah peralihan dari era Heisei (nama era sebelumnya) ke Reiwa. Pengumuman perubahan era kekaisaran ini telah dilakukan oleh pemerintah Jepang pada 1 April 2019.

Perubahan era kekaisaran ini merupakan momen bersejarah di Jepang, karena hanya berubah bila terjadi pergantian kaisar yang berkuasa. Oleh karena itu, orang Jepang melakukan berbagai perayaan menyambut datangnya era baru ini.

Tahun kekaisaran ini biasanya banyak digunakan dalam dokumen formal Jepang seperti kartu keluarga Jepang, surat perjanjian sewa apartemen, dan surat izin perusahaan. Jadi, jika kamu ingin menetap di Jepang, ada baiknya kamu mengingat tahun lahir kamu dalam hitungan era kekaisaran Jepang. Hal ini akan lebih memberi kemudahan dalam pengurusan kebutuhan hidup.  

Sementara itu, di beberapa dokumen seperti SIM (Surat Izin Mengemudi), tahun berlaku SIM akan ditulis dalam dua versi, yaitu versi tahun masehi dan tahun era kekaisaran Jepang.

Pada dokumen seperti Surat Keterangan Tinggal, Surat Pernikahan, Akte Kelahiran, dan Surat Pindah, kamu boleh menuliskan tahun berdasarkan masehi ataupun era kekaisaran Jepang.

Sebagai referensi, berikut cara tabel perbandingan era kekaisaran di Jepang.

Masehi

Era Kekaisaran Jepang

Showa

Heisei

Reiwa

1926

Dari 25 Desember,

Showa Gannen

(Era Showa tahun pertama)

   

1989

Sampai 7 Januari,

Tahun 64 Showa

Dari 8 Januari,

Heisei Gannen

(Era Heisei tahun pertama)

 

2019

 

Sampail 30 April,

Tahun 31 Heisei

Dari 1 Mei,

Reiwa Gannen

(Era Reiwa tahun pertama)

sumber : ohayojepang.kompas.com

 

Published in Berita
Monday, 15 July 2019 17:52

Persiapan Tokyo untuk Gelar Olimpiade 2020

MACCA NIHONGO- Jepang sangat serius mempersiapkan diri untuk jadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 2020. Sejumlah persiapan telah dilakukan untuk menggelar event olahraga terbesar di dunia tersebut.

Komite Olimpiade Internasional (IOC) menunjuk Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade 2020 pada 7 September 2013. Dalam proses voting, Tokyo mengalahkan Istanbul (Turki) dan Madrid (Spanyol).
Tahun 2020 akan menjadi kali kedua Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade. Ibu kota Jepang itu sebelumnya pernah menggelar event yang sama pada 1964 silam.

Sebagai ibu kota sebuah negara maju, Tokyo adalah kota modern dengan fasilitas umum yang sudah sangat lengkap. Oleh karena itu, untuk menyambut Olimpiade 2020, mereka tak harus tergopoh-gopoh membangun fasilitas penunjang yang 100% baru, misalnya terkait transportasi dan akomodasi.

Terkait venue-venue untuk Olimpiade 2020, pemerintah Jepang akan membangun ulang Stadion Olimpiade Nasional di Tokyo. Stadion baru akan mulai dibangun pada Oktober 2016 dan dijadwalkan selesai pada November 2019. Stadion yang akan menjadi venue utama Olimpiade 2020 itu nantinya akan berkapasitas 68 ribu penonton, yang bisa ditingkatkan hingga 80 ribu penonton dengan memasang tempat duduk sementara di lintasan atletik.

Jepang menyiapkan 34 venue untuk perhelatan Olimpiade 2020, 11 di antaranya baru. Venue-venue tersebut sebagian besar terletak di dua wilayah utama, Heritage Zone dan Tokyo Bay Zone.
Ada 33 cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade 2020. Dari 33 cabang olahraga tersebut, lima di antaranya baru, yaitu baseball/softball, karate, skateboarding, sport climbing, dan selancar.

Di luar urusan persiapan fisik, Jepang juga telah menyiapkan fasilitas pendukung yang tak kalah penting, salah satunya terkait arus informasi. Mereka sudah punya situs resmi Olimpiade 2020, akun TwitterFacebook, dan YouTube yang dikelola dengan sangat baik. 

Gambaran akan menariknya Olimpiade 2020 terlihat dari preview yang muncul dalam pesta penutupan Olimpiade Rio 2016. Video preview itu tak cuma menampilkan berbagai cabang olahraga yang akan dipertandingkan, tapi juga tokoh-tokoh kartun Jepang, seperti Doraemon, Hello Kitty, Kapten Tsubasa, serta karakter video game Pac-Man dan Super Mario. Munculnya Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam kostum Super Mario dalam pesta penutupan Olimpiade Rio juga mencuri perhatian dari media-media di seluruh dunia.


Saat Tokyo terus bersiap untuk menyambut Olimpiade 2020, Indonesia yang jadi tuan rumah Asian Games 2018 masih terkendala banyak masalah. Selain renovasi venue yang molor berkali-kali, Indonesia juga menghadapi masalah-masalah lain yang sebenarnya bisa dihindari.

Logo dan maskot Asian Games 2018 mengalami perubahan karena desain sebelumnya dianggap tak menarik. Sementara itu, situs resmi Asian Games 2018 sampai saat ini belum tersedia.

Sumber : sport.detik.com

Published in Berita
Published in Video
© 2025 Macca Nihongo. All Rights Reserved. Website by JA